Sabtu, 04 Juni 2011

Sejarah Raja-raja Singosari

Sejarah Raja-raja Singosari
Kerajaan Singhasari adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang. Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Ken Arok
Ken Arok lahir pada tahun 1182 dan wafat 1227/1247. Ia adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247). Menurut naskah Pararaton, Ken Arok adalah putra Dewa Brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita desa Pangkur bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri & gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya. Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe. Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh. Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.
Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil. Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan. Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.
Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi. Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.
Anusopati
Bhatara Anusapati adalah raja kedua Kerajaan Tumapel (atau kemudian terkenal dengan nama Singhasari), yang memerintah pada tahun 1227 - 1248 (versi Nagarakretagama), atau 1247 - 1249 (versi Pararaton). Anusapati adalah putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel. Kemudian pada tahun 1222 Ken Arok mengumumkan berdirinya Kerajaan Tumapel. Ia bahkan berhasil meruntuhkan Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Kertajaya.
Sepeninggal Ken Arok tahun 1247, Anusapati naik takhta. Pemerintahannya dilanda kegelisahan karena cemas akan ancaman balas dendam anak-anak Ken Arok. Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, bahkan dikelilingi oleh parit dalam. Meskipun demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung, tiba-tiba Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1249. Untuk menghormati arwah Anusapati didirikan candi di Kidal, di mana ia dipuja sebagai Siwa.
Tohjaya
Apanji Tohjaya adalah raja Kerajaan Tumapel (atau Singhasari) yang memerintah tahun 1249 - 1250 menurut Pararaton. Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui kalau pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam.
Tohjaya kemudian menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal, namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang hendak dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari angkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia akhirnya meninggal dunia di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.
Ranggawuni
Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan kalau Tohjaya adalah raja Kadiri. Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai. Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Kertanagara
Kertanegara memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292). terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.
Raja-raja Singosari
No.
Nama Raja
Tahun Kekuasaan
Lama Kekuasaa
1
1222-1247
25
2
Anusopati
1247-1249
2
3
Tohjaya
1249-1250
1
4
Ranggawuni
1250-1272
22
5
1272-1292
20

Di antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara atas perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di Kadiri. Dengan demikian, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 dapat diperdebatkan. Kemungkinannya adalah bahwa Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu, baru pada tahun 1268 ia bertakhta di Singhasari
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.











DAFTAR PUSTAKA
  • Bullough, Nigel (27 Mei 1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications.
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Pogadaev, V. A. The Bloody Throne of Java. Zhivaya istoriya Vostoka (The Live History of Orient). Ðœoscow: Znanie, 1998, p.172-179.
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah


Kamis, 02 Juni 2011

Tantrayana


Adityawarman sebagai Penganut Aliran Tantrayana

1. Pengertian Tantrayana
Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia. Salah satu pemeluknya adalah Adityawarman, seorang raja di kerajaan Melayu di pulau Sumatera.
Wilayah Sumatera adalah wilayah Minangkabau yang berbatasan dengan Tapanuli (Sumatera Utara), Jambi, Bengkulu dan Samudera Hindia.[1] Di sinilah Adityawarman pernah berkuasa sebagai raja kerajaan Melayu. Adityawarman adalah seorang keturunan dari kedua raja Malayu dan Singhasari yang menduduki tahta selama kurang lebih empat puluh tahun di wilayah yang dikenal sebagai daerah Minangkabau, di pantai barat Sumatera.[2] Adityawarman dikenal sebagai raja yang taat kepada agamanya dan aktif dalam kegiatan kebudayaan khususnya yang berhubungan dengan agama.
Adityawarman adalah penganut taat agama Buddha. Namun agama Buddha yang dianut oleh Adityawarman telah bercampur dengan unsur-unsur Tantrisme, khususnya dalam bentuk pemujaan Bhairawa. Tantrayana termasuk dalam aliran Buddha Mahayana yang mempunyai konsep bahwa seorang penganut dalam mencapai moksa (kelepasan) dengan menggunakan sihir, bersemadi (yoga), dan mengucapkan mantra-mantra. Dalam agama Buddha, ada dua aliran atau madzab yaitu Hinayana dan Mahayana. Madzab Hinayana lebih mendekati pelajaran Buddha yang semula, sedangkan madzab Mahayana sudah berbeda dengan ajaran Budha pada awalnya karena semakin lama Mahayana semakin dipengaruhi oleh agama lain yaitu Civa.
Vajrayana alias Tantrayana alias Mantrayana adalah sebuah sub sekte dari pada Mahayana. Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wang Shifu dengan lugas di atas, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti. Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung.
Oleh karena itulah di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana. Namun tentu ada konsekuensi untuk itu, seorang Sadhaka/Tantrika (praktisi Tantric) haruslah berlatih dengan giat dan tekun setiap hari sesuai dengan instruksi Guru (atau Acharya atau vajra master) nya. Candi Biaro Bahal II di Sumatera, merupakan candi khusus untuk praktek-praktek Yoga Tantra Tertinggi, karena disana dijumpai arca Heruka.
Praktek para leluhur bangsa Indonesia jaman dahulu sudah sangat tinggi tekniknya. Banyak kalangan yang sudah sampai pada praktek-praktek Tantra lanjutan. Di dalam Tantrayana guru adalah manifestasi dari Buddha. Guru ( Vajra Acharya) adalah pembimbing kita menuju kebuddhaan dan dengan ajaran Tantrayana melalui tubuh sekarang mereka bisa menjadi Buddha.
Dari penelusuran sumber-sumber berupa buku, ditemukan prasasti-prasasti yang memberikan pengertian sederhana tentang Buddhisme yang dianut oleh Adityawarman antara lain:
1.      Prasasti pada arca Manjucri dari Tjandi Djago
Arca Manjucri ini terlihat duduk diatas alas bunga padma dengan kedua kaki terlipat di depan badannya. Kepalanya dilingkupi dengan lingkaran yang pada sisi-sisinya dihiasi lingkaran sinar. Pakaian yang menutupi bagian bawah badan mempunyai pola yang terdiri dari lingkaran-lingkaran yang memiliki beragam motif. Tangan arca sebelah kiri diletakkan di muka dada dan memegang sebuah pedang yang panjang dan lebar. Di kanan kiri arca ini tampak menjalar ke atas sulur bunga padma.
Di sebelah kanan dan kiri arca induk Manjucri ini, yaitu satu di bawah dekat alas bunga dan yang satu lagi di atas dekat lingkaran kepala, terdapat lukisan yang serupa bentuknya dengan dengan arca induk. Jadi arca ini dikelilingi oleh empat buah repliek.  
Tentang pendirian sebuah arca Manjucri di dalam sebuah bangunan suci yang diperuntukkan bagi Jina (Dhyani Buddha) adalah tidak aneh kalau diingat bahwa Manjucri adalah salah satu manifestasi dari Bhairawa, sedang Bhairawa rapat hubungannya dengan Amoghapaca yang menjadi arca Induk candi Jago.[3]
2.      Patung Amoghapaca.
Melukiskan pentahbisan sebuah kelompok patung-patung buddhis dari Amoghapacha-Gaganaganja dengan penempatannya dalam sebuah bangunan suci Jina, menyebutkan kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh buddhis dan menguji pengetahuan tentang latihan-latihan yoga dari mahayana.
3.      Bukit Gombak.
Bahwa raja yang merupakan “perhiasan keturunan Dharmaraja” (dharmaraja kulatilaka) “Ekangawira”, “pahlawan yang memandang satu tujuan “yang tak hanya dapat menunjuk kepada sikap yang tak dapat di ganggu yang sama itu.
Prasasti inipun tidak dapat dianggap buddhis murni karena Kama agak sukar untuk dapat di golongkan sebagai dewa buddhis yang ortodok, yang dapat dijadikan perbandingan dengan raja buddhis.
4.      Prasasti Kapalo Bukit Gombak I  yang berisi:
“pada tahun 1269, yang telah lalu,
                        pada bulan Kartika,bagian bulan terang,
                        pada hari kelima, senin, vajra Yoga
                        Indra Karana Bava.”
Prasasti ini tidak mengandung banyak arti selain tanggal pembuatannya saja.
5.      Prasasti Bukit Gombak II.
Prasasti ini berasal dari Kapalo Bukit Gombak yaitu daerah Batu Sangkar yang kemudian dibawa ke Pagar Rujung, ditulis dalam bahasa sansekerta ditanbah dengan sedikit bahasa melayu kuno dan dibuat pada tahun 1278 Caka. Prasasti ini dibuat oleh pendeta (atau lebih tepat guru) Dharmmaddhwaja. Di dalam prasasti ini mengandung puji-pujian kepada raja Adityawarma.[4]
6.      Surowaso.
Melukiskan pentahbisan Raja sebagai Bhairawa. Prasasti ini dibuat dalam tahun 1297 Caka. Menyatakan bahwaraja Adityawarman ditahbiskan sebagai ksetrajna, dengan nama Wicesadharani.
7. Prasasti Kubu Radjo I.
Terdapat di Kubu Radjo daerah Limo Kaum, Sumatera Barat. Dapat ditarik gambaran umum dari prasasti ini yaitu:
a. Adityawarman menyebut dirinya sebagai “Kanakamedinindra” atau Radja Tanah Kanaka” yang sama artinya untuk menyebut Sumatera pada waktu itu.
b. Ayah Adityawarman bernama Adwayawarman.
c. Adityawarman berasal dari “Keluarga Indra.”
d. Prasasti ini mengandung puji-pujian kepada raja Adityawarman.[5]
8.    Prasasti dari Bandar Bapahat.
Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu karang di bandar Bapahat dekat Suruaso.namun prasasti ini belum dapat dibaca sepenuhnya, hanya beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan antara lain:
a. Adityawarman hidup pada abad ke XIV masehi.
b. Pusat kerajaannya kemungkinan berpusat di sekitar Pagar Rujung.
c. Adityawarman memeluk agama Buddha tetapi yang telah bercampur dengan unsur-unsur Tantrisme, khususnya dalam bentuk pemujaan Bhairawa.
d. Terdapat peninggalan-peninggalan arca-arca dan bangunan masa pemerintahan Adityawarman.
e. Dalam hubungan kekeluargaan, Adityawarman mempunyai hubungan yang erat dengan dinasti raja-raja Singosari dan Majapahit.
9. Arca Bhairawa dari Padang Rotjo.
Tinggi arca ini mencapai 4,41 m, berdiri di atas alas yang terdiri dari sekumpulan tengkorak manusia yang berjumlah 8 buah. Alas ini merupakan bunga padma berganda yang di atasnya terdapat patung seorang guru yang dalam posisi berbaring dan tidak mengenakan baju. Dikatakan seorang guru karena terlihat dari cara menyusun rambutnya. Kedua kaki guru dilipat di bawah tubuhnya.
Sedangkan gambaran arca Bhairawa itu sendiri yaitu tangan sebelah kanan memegang sebilah pisau, tangan kiri memegang sebuah mangkuk. Ibu jari kanan dan kiri, jari kelingking kanan dan kiri memakai cincin. Pada kedua pergelangan kakinya terdapat dua ekor ular yang melingkar sedangkan bagian kaki terbuka. Bagian badan arca ditutup dengan semacam sarung yang memiliki pola kotak-kotak dengan perhiasan tengkorak di tengah-tengahnya.arca ini memakai ikat pinggang yang sangat indah yang pada bagian depannya dihiasi dengan kepala kala yang memuntahkan untaian mutiara dengan sebuah genta diujungnya.
Perhiasan yang terdapat di kepala dan telinganya terdiri dari makara dan bunga-bungadengan disertai untaian mutiara dan rumbai-rumbai. Rambutnya diikat ke atas dan pada tumpukkan rambutnya duduklah Aksobhya seperti dalam sebuah relung. Seluruh bagian kepalanya dilingkari oleh sebuah lingkaran yang bersinar dan pada sebelah kanan lingkaran ini terdapat lujisan matahari.[6]
Arca ini secara keseluruhan terlihat sangat indah dan megah, menunjukkan teknik memahat yang sangat tinggi. Namun bagaimanapun juga, arca ini tidak kehilangan sisi seramnya. Terlihat jelas bagaimana tengkorak-tengkorak yang berada di bawahnya. Tak heran karena arca ini sesuai dengan sifat dan bentuk arca Bhairawa.

2. Praktek Tantrayana
Dalam praktek agama Buddha dan Ciwa bagi umum tidak banyak perbedaannya. India mulai mempengaruhi kebudayaan Indonesia dan terjadilah percampuran antara Ciwa dan Buddha (Mahayana). Percampuran yang paling komplek yaitu mengenai tantrisme atau tantrayana.dan aliran tantrayana dalam Mahayana inilah yang datang dan berkembang di Indonesia.[7]
Aliran Tantrayana dianut hanya sebatas beberapa orang saja karena upacara-upacaranya dirahasiakan dan bersifat amat mengerikan. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja-raja Pagaruyung di Sumatra barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Di samping itu, pencarian sumber lainnya juga ditemukan bagaiman upacara ritual aliran Tantrayana yaitu terdiri dari menjalankan “Lima Keharusan” dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.[8] Dalam upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para penganut aliran Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu-Budha untuk dapat bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup karena pada umumnya mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat setelah meninggal sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas yang disebut dengan Upacara ritual Pancamakarapuja yaitu terdiri dari: 
1.       MADA atau mabuk-mabukan.
2.       MAUDRA atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan.
3.       MAMSA atau makan daging mayat dan minum darah.
4.       MATSYA atau makan ikan gembung beracun.
5.       MAITHUNA atau bersetubuh secara berlebihan.
Mereka melakukan upacara tersebut di Ksetra atau lapangan untuk membakar mayat atau kuburan sebelum mayat di bakar saat gelap bulan. Aliran-aliran Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kekuasaan (kerajaan), seperti halnya pemimpin dari kalangan militer di masa sekarang. Karena itu raja-raja dan petinggi pemerintahan serta pemimpin masyarakat pada zaman dahulu banyak yang menganut aliran ini.
Dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat pada sebuah prasasti.
Pada prasasti Surowaso dikatakan raja Adityawarman telah menerima pentahbisannya. Adityawarman menerima pentahbisannya dengan ritual berada di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di timbunan bangkai, tertawa sambil meminum darah, menghadap kurban manusia yang mengelurkan bau busuk tetapi bagi Adityawarman sangat harum baunya. [9]
Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan sikapnya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana.

3. Perkembangan Tantrayana di Sumatera
Tantrisme di Indonesia diperkirakan datang dari Bengal dan para biksu dari Indonesia juga mengunjungi Nalanda seperti dapat disimpulkan dari prasasti menyebutkan Balaputradewa dari Suwarnadwipa yang membangun sebuah wihara di bidang raja Pala sekitar 860 AD.[10]
Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya dibumi persada Indonesia, terutama pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Singasari dan Majapahit. Perkembangan yang demikian pesatnya seiring dan sejalan dengan mazhab-mazhab lkainnya, bahkan dengan agama Hindu yang juga banyak dianutnya pada masa-masa tersebut. Adapun sekte Bhairawa muncul pada sekitar abad ke VI di Benggala sebelah Timur. Dari sini kemudian menyebar ke Utara melalui Tibet, Mongolia dan masuk ke Tiongkok dan Jepang.[11] Sedangkan yang bercabang ke timur memasuki daerah Asia Tenggara dan sampai di Indonesia.
Di Indonesia, sekte ini awalnya tampak di Sumatera sekitar abad VI, kemudian menyebar ke timur dan sampai di pulau jawa. Pada zaman kerajaan Singosari sekte ini semakin berkembang dan muncul lagi, bahkan semakin populer di Sumatera pada masa Adityawarman. Demikianlah sehingga dapat disimpulkan bahwa Adityawarman benar seorang penganut sekte Bhairawa yang taat.
Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran.
Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.
Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa.
Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra. Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita Calon Arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap digemari oleh masyarakat Bali.



[1]Puslit Arkenas. 2008. Capita Selecta, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Hlm. 155
[2]Puslit Arkenas. 2008. Capita Selecta,Bulletin Of The National Research center Of Archaeology Of Indonesia. Hlm 57
[3]R. Pitono Hadjowardoyo. 1966. Adityawarman. Bhatara Djakarta. Hlm. 18
[4]Opcid. R.  Pitono Hardjowardojo. Hlm 15-17
[5]Opcid. R. Pitono Hardjowardojo. Hlm 20-21
[6] opcid. R. Pitono Hardjowardojo. Hlm 24-25
[7] Opcid. S. Wojowasito. Hlm. 135
[8] Ibid.
[9] Opcid. S. Wojowasito. Hlm. 136
[10]Opcid. Puslit Arkenas. Hlm. 63
[11] Opcit. R. Pitono Hardjowardojo. Hlm. 25